Pesan Dalam Botol
BERKAH
S |
uatu hari rezeki gw sedang bagus. Maka, gw nggak keberatan naik taxi dari Potlot ke Duren Sawit. Begitu ada taxi tanpa penumpang, langsung aja gw stop. Dan gw pun naiklah itu kendaraan yang sejuk dan bikin pikiran gw adem.
Setiap naik taxi sendirian, gw selalu milih duduk di depan. Pernah juga gw coba duduk di belakang ala boss. Tapi gw jadi blingsatan sendiri. Kok kayaknya maksain diri. Sejak itu gw putuskan untuk duduk di depan kalo naik sendirian—persis di samping pak supir.
Gw pun ngobrol sama itu supir. Umurnya sekitar 40-an, penampilan kalem, tapi omongannya berbobot. Dia cerita, gw pun balas cerita. Cuma pas dia cerita tentang perjalanan hidupnya, gw lebih asyik jadi pendengar.
Pak supir cerita, dia sempat ngejalanin macem-macem kerjaan sebelum akhirnya jadi supir taxi……
Awalnya dia jadi supir truk LPG. Penghasilannya lumayan, tapi hati tidak senang. Soalnya teman-teman sesama supir truk pada ngemplang. Bawa LPG 200 tabung, tapi di laporan cuma di tulis 180 tabung.
Pak supir sih nggak pengen begitu. Cuma, kalo dia jujur, pasti teman-temannya bakal ketahuan boss. Jadi dia terpaksa ikut jadi maling di perusahaan sendiri. Sayang, mentalnya nggak kuat ikutan begitu. Gak lama, dia keluar.
Lantas dia dapat kerjaan sebagai pengawas di proyek pembangunan jalan. Tugasnya mengawasi para mandor. Lagi-lagi dia punya masalah serupa, ternyata pengawas yang lain sudah biasa main mata dengan mandor. kalo si mandor bawa kuli pekerja 40 orang, di laporannya tertulis 60 orang. Sebagai pengawas, dia bisa saja nolak menandatangani laporan palsu itu. Tapi kalo itu dia lakukan, pengawas yang lain bakal ketahuan belangnya. Dan dia bakal dimusuhi sesama pengawas.
Capek di paksa jadi maling, akhirnya dia melamar jadi supir taxi. Di sinilah dia bisa hidup tenang. Semua laporan dijamin akurat, tanpa penyimpangan. Dan dia hidup nyaman, biarpun rejeki kadang-kadang pas-pasan.
Kenapa Pak Supir menolak jadi maling ? Ini ada ceritanya sendiri…..
Dia cerita, ayahnya pegawai negeri dengan posisi lumayan “basah”. Setiap bulan sang ayah bawa pulang uang sampai puluhan juta. Padahal, penghasilan resminya (sudah termasuk lembur dll) nggak sampai 1,5 juta perak. Kalo istilah kerennya, sang ayah itu koruptor. Kalo bahasa kita, sang ayah itu maling.
Anehnya, dengan duit sebanyak itu, hidup terasa sulit buat keluarga. Duit gampang masuk, tapi lebih gampang lagi keluarnya. Mobil baru beli sudah tabrakan….ayah tiba-tiba sakit keras dan harus dirawat berhari-hari….mendadak harus bayar ini, bayar itu….Dan yang paling parah, nggak ada ketenangan di dalam rumah. Selalu ada aja masalah.
Repotnya lagi, setelah sang ayah pensiun, dia sering masuk rumah sakit karena didera macam-macam penyakit. Satu per satu barang mewah, bahkan rumah dan villa dijual untuk menutupi ongkos perawatan.
“Yaa…..rezekinya nggak berkah…Mana bisa hidup tenang ?!” kata Pak Supir dengan sedih.
Itulah sebabnya Pak Supir nggak mau mengikuti jejak ayahnya. Dia memilih mencari rezeki yang halal. Dan setelah berjuang, akhirnya ketemu juga pekerjaan yang dia mau. Dan dia merasakan hasilnya.
“Biar kata Cuma makan nasi pake garam, tapi nikmatnya sampai ke hati. Ketawa bisa lepas, bicara bisa ceplas-ceplos. Gak ada beban….”
Itulah hidup dengan berkah.
Sumber : By Biko Sabri – Koran SLANK ( Edisi Okt-Nov 2004 )